Senin, 25 Juni 2012

Hallo Great Tiu Kelep


"Like all great travellers, I have seen more than I remember, and remember more than I have seen.  ~Benjamin Disraeli"
Tiu Kelep, begitu nama air terjun yang kami kunjungi. Kami masuk dari pintu masuk Taman Nasional Gunung Rinjani di Desa Senaru, Bayan, Lombok Utara, NTB. Cukup bayar Rp5 ribu saja untuk satu orang. Perjuangan kecil kami tempuh untuk ke Tiu Kelep. Sekitar 300an anak tangga dituruni, lumayan lah melatih kekuatan kaki. Kami jalan lewati menyusuri hutan kecil dan meniti sungai sekitar 30-45 menit. Sepanjang perjalanan kami ketemu kupu-kupu warna warni. 

Jalan menuju Tiu Kelep juga enggak kalah keren. Ada jembatan yang kiri kanannya jurang dan sungai. Jembatannya pun bolong-bolong bentuknya, dibawahnya tempat mengalir air dari Tiu Kelep. Cuma ada satu pegangan yang bisa digapai tangan. Dijamin deg-degan seru lewat jembatan ini.

Untuk sampai jembatan ini, kita bakal naik tangga yang cukup menegangkan juga. Serasa kayak lagi latihan mengencangkan lutut dan betis. Selain itu setengah dari tangga itu enggak ada pegangan tangannya. Lumayan banget bikin degupan jantung lebih kencang hehehe... 

Rasa letih bergantikan sensasi yang memanjakan mata sesampainya di sini. Sesuai dengan arti dari kata Tiu Kelep, yaitu air yang beterbangan. Air terjun setinggi 30 meter ini menerbangkan percikan airnya seiring dengan angin sepoi-sepoi. Jadi ada butiran air di kepala kami. Ditambah dinding-dinding raksasa berselimut tumbuhan hutan yang mengelilinginya.

Klimaksnya berasal dari kolam sedalam dua meter di bawah air terjun. Kami dengan bebasnya berendam bahkan berenang di sana. Airnya dijamin, dingin! Bebatuan di dasar kolam juga kelihatan saking jernihnya air. Belum lagi tumbuhan hutan atau akar pohon yang terkadang patah dan meliuk-liuk di kolam. Paling seru adalah mandi di bawah grujugan air terjun di samping kolam. Badan rasanya kayak dipijet, lebih enak dibanding mandi di bawah shower. Percikan airnya kencang loh, biar tetap bisa motret dengan aman sebaiknya pakai tas kamera waterproof. Sayang banget kalau air terjunnya enggak difoto hanya karena kameranya basah. Bisa juga menggunakan kamera underwater. Paling seru di sini, di bawah bisa dilihat muka-muka bahagia setelah main air hohohoho...

Enggak cuma Tiu Kelep yang kami datangi. Kami juga main ke air terjun Sindang Gile. Kalau kata warga sekitar, nama Sindang Gile itu konon diambil dari cerita turun temurun tentang orang yang bisa menembus hutan lalu mandi di air terjun. Masih menurut cerita jaman dulu, di hutan itu banyak harimaunya. Hasilnya orang tersebut dinilai gile (gila) karena berani masuk ke hutan yang dinilai angker.

Agak beda dengan Tiu Kelep, air terjun Sindang Gile terdiri dari dua pancuran utama air terjunnya. Enggak ada kolam buat berenang atau berendam di sekitarnya. Tapi pancuran airnya terasa sama kerasnya dengan pancuran air Tiu Kelep. Untuk nikmati pancuran air terjunnya, kita harus turun beberapa anak tangga. Anak tangganya itu dari bebatuan loh, lumayan licin dan batunya tajam.

Untuk ke air terjun ini bisa pakai guide, tugasnya bawain barang-barang kita. Mereka juga menyediakan air minuman, cemilan dan buah-buahan untuk di air terjun. Kalau pakai jasa guide kita bayar per orang. Harganya variatif, mulai dari Rp50 ribu - Rp140 ribu per orang. Tapi kalau mau hemat, enggak usah pakai guide. Insya allah enggak bakal nyasar karena jalannya enggak ribet. 











Kamis, 21 Juni 2012

Kafe Penebus Kecewa di Lombok


“A good traveler has no fixed plans, and is not intent on arriving,” by Lao Tzu

Lombok jadi destinasi perjalanan kali ini. Sabtu tanggal 28 April 2012 saya dan 7 teman lainnya berangkat dari Cengkareng, tiba di Bandara Internasional Lombok sekitar jam 14.30 WITA. Kami terbang dengan Garuda Indonesia dengan harga yang menyenangkan, cukup Rp1 juta PP tiap orang *senyum senang*.

Setibanya di sana, kami dijemput oleh Mas Farhan. Dia lah yang jadi guide sekaligus nyetirin Elf sewaan kita selama di Lombok. Sayang seribu sayang, ancang-ancang bisa nikmati sunset di Lombok kami malah disambut rintik hujan. Hujan semakin deras sepanjang perjalanan menuju rumah makan Taliwang Irama di Jalan Ade Irma Nasution, Cakranegara, Lombok Barat, NTB. Makan ramean di sini sampai kenyang+bego cuma Rp344 ribu. Kita dihidangkan ayam bakar taliwang, ikan bakar taliwang, plecing kangkung, nasi berbakul-bakul, minuman (es teh, es jeruk, teh hangat, jeruk hangat, dan air putih)

Kenyang melahap ayam taliwang dan ikan bakar, kami pun ke Senggigi. Pertama kali kami cari penginapan. Ke sana kemari mencari yang pas, akhirnya pilihan kami jatuh di Hotel Bukit Senggigi di Jalan Raya Senggigi, Lombok, NTB. Tarif kamarnya per malam pun sesuai budget kali ini, cukup Rp320 ribu saja. Kamarnya berfasilitas kasur (pasti lah ya), AC, Cable TV, kamar mandinya bath tub+shower dan ada air panasnya, dapat sarapan, ada kolam renang outdoornya. Penerangan (lampu) di kamar juga terang, jadi enggak ada suasana lembap apalagi mistis. Alhamdulillah ya.

Beres urusan penginapan, kami langsung ngacir ke mobil. Tujuannya adalah Bukit Malimbu, karena sesuai itin kami mau nikmati sunset di sana. Plak!! Nampar pipi sendiri, karena sadar bahwa hujan masih turun. Enggak ada langit berwarna jingga atau merah saat itu. Akhirnya kami menepi di sebuah tepi jurang. Langsung ambil kamera dan motret langit yang ternyata berwarna biru keunguan alias lembayung. Subhanallah ya. Hasil fotonya rata-rata bersiluet di sini. 

Karena sudah gelap, kami pun memutuskan untuk sudahi nikmati (ketiadaan) sunset itu. Tapi kekecewaan terbayar ketika Mas Farhan membawa kami ke Alberto. Sebuah kafe yang tepat di pinggir pantai. Halaman dan pintu masuknya didesain minimalis. Lalu sebuah kolam renang menyambut kami di sisi kiri. Sedangkan di kanannya ada sebuah mini bar. Baru deh ada meja-meja tempat tamu duduk dan makan. Kami pilih meja yang berlantai pasir. Ada lilin di tiap mejanya, dan beberapa petromak yang menerangi kafe.

Wush wush, buku menu pun dibuka dan dibaca. Yeay, harganya terjangkau oleh budget (joget2 kesenangan). Lebih tepatnya harga makanan dan minuman di resto ini enggak jauh beda sama tarif kafe-kafe di Kemang Jakarta. Tapi dengan alasan kenyang, kami pun cuma pesan minuman. Bir bintang, jus nanas, dan teh sereh jadi pilihan kami berdelapan. Pesanan itu semuanya Rp120 ribu sudah termasuk pajak ya. Obrolan dan candaan langsung mengalir begitu pesanan kami datang. Terasa lebih nikmat karena deburan ombak terdengar langsung di telinga. Bahkan kami sempat bermain air pantai. Beberapa pasangan yang juga lagi makan di situ kayaknya geleng-geleng kepala lihat tingkah kami. Eh tapi bisa jadi mereka kesal. Soalnya romantisme yang ditawarkan oleh kafe itu berubah gaduh karena kami ribut *big grin*. FYI nih, Alberto ini bernuansa Italia makanannya. Jadi enggak ada deh namanya nasi ayam hainam di sini. Kafe ini recommended! Bisa dilihat webnya di Cafe Alberto

Kami pun balik ke hotel sekitar jam setengah 10. Sebagian dari kami ada yang mandi, sebagian lagi berenang. Ujung-ujungnya kami ngobrol sambil ngopi dan makan pop mie di pinggir kolam renang. Untuk kopi dan pop mie kami bawa sendiri dan enggak kena charge oleh hotelnya. Air panas yang kami minta untuk ngopi dan ngpop mie pun gratissss!. Peraturan hotel menyebutkan kalo kolam renang bisa digunakan sampai jam 10 malam, tapi enggak ada teguran ke kami meski berenang sampe jam 11 malam. Cape ketawa, kami pun balik kamar masing-masing. Saatnya mandi dan tidur, nice dream :).

Foto-fotonya menyusul ya, banyak yang belum diedit. Satu foto tentang Malimbu dulu ya



Selasa, 19 Juni 2012

Malangnya Taman Prasasti


"One can not escape history," by Abraham Lincoln

Kalau kata Soekarno, Jangan sekali-kali melupakan sejarah! lebih ngenes lagi kalau tidak menghargai sejarah itu sendiri. Seperti pemikiran yang muncul pas main ke Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang 1, Jakarta Pusat.  
Gimana enggak ngenes, prasasti maupun nisan di museum itu penuh coretan. Mulai coretan berupa kalimat, bahkan sampai gambar kelamin laki-laki. 
Bisa saja semua tulang belulang dari jasad yang dikubur di sana sudah dipindahkan. Tapi apa salahnya menghargai prasasti itu sebagai bagian dari sejarah tentang kolonial Belanda di Jakarta?!. Enggak salah kan ya menghormati orang yang sudah meninggal?!. 





Padahal masuk ke museum ini cuma bayar Rp2 ribu. Kamera boleh bawa masuk kalau mau motret. Enggak ada larangan juga bawa makanan dan minuman ke dalamnya. Boleh nyewa guide untuk menceritakan kisah di balik Taman Prasasti ini, boleh juga enggak pakai jasa guide. 
Dari prasasti dan nisan di sini, mayoritas adalah warga Eropa yang meninggal karena penyakit saat jaman penjajahan. Banyak juga dokter kenamaan dan akademis terkenal jaman dulu yang pernah dimakamin di sini. Bahkan nisan seorang Soe Hok Gie ada di sini.
Singkatnya museum ini dulunya bernama Kebon Jahe Kober (kuburan) seluas 5,5 ha. Pemakaman ini ada dari tahun 1795 khusus bagi orang Eropa. Pemakaman ini baru dibuka untuk umum tahun 1977. Sayangnya lahannya menyusut menjadi 1,3 ha setelah ada pengembangan kota.
Berada di Taman Prasasti ini serasa ada di Eropa. Mulai dari bahasa di nisan dan prasasti yang pake Bahasa 'Kompeni' Belanda, bangunan prasastinya, bangunan patungnya, hingga bangunan malaikat yang banyak di sini. Eh iya sisi romantis bisa terasa di sini juga loh. IMO, romantisme itu bisa dilihat dari tulisan di nisan. Rasa sedih dan besarnya cinta seorang istri ke suaminya yang meninggal.